WHAT'S NEW?
Loading...

Dari Melucu Lahirlah Buku karya Arham Rasyid



Belum lama ini ada yang nanya apa arti kata "mencelos" pada puisi yang iseng gw buat. Mencelos ini sulit dijelaskan, sejenis kaget tapi kaget yang bukan kaget biasa. Aaargh... gimana ngejelasinnya ya, di KBBI saja gak ada definisi kata ini.

Mencelos adalah kosa kata yang gw dapat juga dari Mbak Listiana, salah satu editor senior di gramedia. Mencelos ini kebetulan dipopulerkan olehnya, selain beberapa kata semisal "berjengit" dan "mengedikkan bahu". Bahasa Indonesia memang luwes, ada banyak kosa kata yang bisa dipadu padankan, dan masih banyak pula kata yang jarang terpakai. Senandika, semenjana, ketaksaan, pengokot dan daring tentunya asing di kuping, padahal ini juga adalah bahasa kita yang bisa dipake sehari-hari, setidaknya demi menghargai kata yang sudah dibuat susah payah oleh balai bahasa.
"Unggah" dan "unduh" saja adalah kata-kata baru yang mulai populer sebagai pengganti kata upload dan download. Akhir-akhir ini gw juga mulai sering membaca kata "kudapan" sebagai pengganti kata snack yang tertera di undangan-undangan resmi. Jadi mestinya kata-kata asing yg lain juga bisa dicari serapannya, tergantung kesepakatan dan kebiasaan.

Baiklah, gw gak akan ngebahas lebih jauh soal itu. Kali ini gw mau cerita tentang siapa Mbak Listiana, buat yang belum tau aja. Yang gak doyan tulisan kepanjangan, gw ingatkan silakan postingan ini diskip. Hehehe..

Alkisah sekitar akhir tahun 2008 gw mendapat undangan kehormatan ke kantor Redaksi Gramedia di Palmerah, semacam penghargaan atas buku pertama gw yang oleh penerbit masuk kategori best seller setelah cetak ulang 10 ribu eksemplar dalam dua minggu. Haha.. songong dah. Yang pasti gw benar-benar spechless dan mencelos waktu itu. Menurut editor gw mbak Ike, setelah jaman Lupus emang hampir gak ada lagi buku genre serupa yang diterbitkan gramedia, kebanyakan teenlit dan terjemahan, makanya gw masuk di saat yang tepat. Kebetulan lagi mbak Ike adalah orang yang juga mengeditori buku-buku Lupus sejak tahun 80-an, yang notabene Lupus ini adalah bacaan favorit gw sejak SD. Maka klop lah kemujuran gw.

Kantor gramedia adalah surga bagi kutu buku. Seabrek-abrek buku keren menumpuk di kiri kanan sepanjang jalan koridor dan tiap kubikel di ruangan, membentuk formasi pagar bagus. Ibarat deretan patung kayu yang siap menghajar Jet Lee hingga babak belur. Gw benar-benar mabok buku waktu itu, tinggal milih mana yang bisa dibawa pulang.

Setelah berjumpa para editor senior; Mbak Ike, Mbak Vera, Mbak Hetih, tiba-tiba masuklah ke ruangan seorang wanita paruh baya dengan senyum manis membawa sepiring kecil brownies yang langsung disodorkan ke gw. "kamu mengingatkanku pada Hilman Hariwidjaya.."katanya. "Ya, mirip Hilman saat datang ke sini pertama kali membawa naskah Lupus. Pemuda pemalu yang gak banyak ngomong dan ternyata cuma ngocol di buku. Persis kamu" lanjutnya. Gw cuma bisa cengengesan najong. Belakangan gw tau ibu itu namanya Listiana, dipanggil Mbak Lis. Dan belakangan juga gw tau kalo kupluk gede yang dipakainya adalah penutup kepala dari kebotakan selama menjalani kemoterapi.

Lima tahun setelah perjumpaan itu, gw nyaris lupa sosok mbak Lis sampai gw membaca sebuah artikel yang sontak membuat darah berdesir. Perjumpaan di redaksi gramedia itu ternyata pertama dan terakhir kalinya. Mbak Lis sudah berpulang dua tahun sejak pertemuan itu setelah berjuang melawan kanker. Yang bikin gw nyesek, bukan karena telat tau beliau meninggal, tapi terlebih karena gw telat menyadari kalo Mbak Lis ini orang hebat.

Mbak Lis adalah penerjemah serial Harry Potter, buku paling laris dalam sejarah perbukuan gramedia. Di tengah penerjemahan serial Harry Potter yang ke-5, beliau divonis kanker paru-paru stadium 3B. Hebatnya, di antara jadwal kemoterapi yang melelahkan ia berhasil menuntaskan tugas menerjemahkan ketujuh serial Harry Potter sampai akhirnya meninggal dunia tahun 2010. Buku setebal 900-an halaman bisa ia terjemahkan dalam waktu hanya 5 minggu.

Awalnya gramedia konon gak berniat menerjemahkan karya J.K Rowling tersebut, karena khawatir dongeng tebal itu gak suskes di pasar anak Indonesia. Tapi Mbak Lis ngotot memperjuangkan. Lewat tangannya, kata-kata, frasa, maupun kalimat yang dalam naskah aslinya kekanak-kanakan, diubah menjadi kalimat Indonesia yang gak biasa dan sedap dibaca. Harry Potter yang naskah aslinya dongeng banget disulap menjadi bacaan cerdas anak Indonesia.

Kata mencelos, berjengit, mengedikkan bahu adalah istilah yang mungkin gak akan pernah ditemukan di buku manapun selain Harry Potter. Kira-kira sama statusnya dengan kata sepeminuman teh atau sepelemparan tombak dalam buku-buku Wiro Sableng karya Bastian Tito, bokapnya Vino G Bastian. Ataupun kata berpagut dan menggelinjang dalam buku-buku Fredy S.
Eeh.. Sorry, ini lain kasus. Hihihi..

Mbak Lis bukan sekadar mengalih bahasa secara serampangan kayak subtitle-subtitle film bajakan karya lebah ganteng. Mbak Lis sangat detail memperhitungkan kata per kata. Lihat saja "Death Eater" yang jika diartikan biasa menjadi pemakan kematian, tapi olehnya dibuat lebih elegan menjadi Pelahap Maut. Bukankah itu lebih renyah?
Selain pandai memainkan rima dan irama kata seperti ; Vakansi dengan Vampir, Jampi Jenaka, Myrtle Merana, ia juga piawai mencari padanan kata yang lebih mudah dicerna. Lewat improvisasinya ia menciptakan Dedalu Perkasa, Jembalang dan Cermin Tarsah. Soal literal dan idiom ia juga jagonya.

Nah, ada cerita yang unik dibalik penemuan kata Cermin tarsah. Waktu itu Mbak Lis sempat bingung mencari arti kata erised mirror, secara kata erised gak ada dalam bahasa Inggris. Setelah ia renungkan dan utak-atik semalaman ternyata erised harus dibaca terbalik menjadi desire. Desire artinya hasrat. Otomatis kata hasrat pun akhirnya dibalik olehnya menjadi tarsah. Jadilah Erised mirror menjadi cermin tarsah, ini tentu saja keputusan penerjemahan yang jenius!

Harry Potter bukan satu-satunya terjemahan masterpiece Mbak Lis. Ia juga menerjemahkan Host karya Stephenie Meyer yang menurut pembacanya malah novel terjemahannya terlalu bagus dengan bahasa yang lebih sastra. Dalam sebuah kesempatan, Arswendo Atmowiloto juga pernah mengatakan Memoirs of a Geisha yang diterjemahkan mbak Lis jauh lebih menyentuh daripada buku aslinya.

Soal kejeniusan penerjemahan, selain mbak Lis, gw juga teringat seorang penerjemah komik yang juga gak kalah dari mbak Lis. Ibu Rahartati namanya, penerjemah komik-komik Asterix. Oleh wanita berusia 60-an tahun ini, banyolan Perancis diolah sedemikian rupa sehingga rasa bahasa dan humornya lebih pas untuk kultur dan konteks pembacanya di Indonesia. Ibu Rahartati gak saja menerjemahkan teks di dalam balon-balon kata, tapi kadang mengganti sama sekali teks-teks tersebut, termasuk mengganti nama-nama tokoh dalam komik dan menciptakan lagu-lagu baru, biar lebih masuk akal dibaca orang Indonesia. Assurancetorix adalah tokoh ciptaannya. Ada sebuah adegan memorable masa kecil yang gw ingat persis di komik Asterix. Tiga balon kata berderet dengan masing-masing tulisan: "Demi Toutatis", "Demi Belenos", dan terakhir "demikian". Lah, kalo dipikir-pikir kok bisa pas banget masuk terjemahan kata demikian? Nah, di sinilah hebatnya peran penerjemah.

Dari sini akhirnya gw pahami kalo ternyata editor atau penerjemah bukanlah pekerjaan yang main-main. Mbak Lis dan bu Hartati mengajarkan tentang dedikasi dan kesungguhan mendalami pekerjaan, gak peduli berapapun usiamu. Mbak Hartati konon terakhir dibayar per-kata untuk setiap komik yang diterjemahkannya, wujud dari penghargaan terhadap profesionalisme.

Inti tulisan panjang ini sebenarnya cuma mau mengenang Mbak Listiana Srisanti yang luar biasa, secara hari ini tepat 5 tahun yang lalu Mbak Lis berpulang. Semoga kelak ada bibit-bibit baru editor hebat yang bisa setara dengannya, yang bisa mengedukasi pembaca sebagai bagian dari tanggung jawab sosial pekerja dunia buku. Amin...


0 komentar: